Selasa, 13 Maret 2012

Senin, 05 Maret 2012

Perkembangan Perbankan 1990 - 2010

Nama : HERRY ROCKY

Npm :15209415

Kelas : 3EA15


1. Periode 1997-1998

Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya.

Secara spesifik langkah‐langkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah:

  1. Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
  2. Mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan bank‐bank yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya.
  3. Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan dengan melakukan marger.
  4. Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
  5. Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan.

2. Periode 1999-2002

Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998 memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:

  1. Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standar internasional bagi pengawasan bank.
  2. Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS).
  3. Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank.
  4. Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA).
  5. Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap.
  6. Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.

3. Periode 2003-2004

Berbagai perkembangan positif pada sektor perbankan sejak dilaksanakannya program stabilisasi antara lain tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada inovasi produk yang mulai berjalan, seperti pengembangan produk derivatif (antara lain credit linked notes), serta kerjasama produk dengan lembaga lain (reksadana dan bancassurance).

Secara garis besar, kebijakan perbankan pada 2003 masih melanjutkan kebijakan perbankan yang telah berjalan, yaitu: (1) program penyehatan perbankan, meliputi penjaminan Pemerintah bagi Bank Umum dan BPR, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan; dan (2) pemantapan ketahanan sistem perbankan yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan good corporate governance, serta penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan bank.

Meskipun kinerja perbankan menunjukkan peningkatan, namun fungsi intermediasi perbankan belum dapat mencapai tingkat yang optimal yang antara lain tercermin dari meningkatnya kelonggaran tarik kredit dan relatif rendahnya LDR.

Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan pada 2004 secara garis besar masih difokuskan pada upaya meningkatkan stabilitas perbankan dan meningkatkan peranan perbankan dalam perekonomian dengan prioritas pada kegiatan penyaluran kredit. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkannya terdiri dari: (1) Pemantapan ketahanan sistem perbankan dan program pemulihan perbankan yang meliputi pelaksanaan program penjaminan Pemerintah (blanket guarantee), program divestasi sebagai kelanjutan dari program rekapitalisasi perbankan, restrukturisasi kredit, serta pengembangan infrastruktur perbankan; (2) Pemantapan penerapan prinsip kehati-hatian perbankan yang meliputi peningkatan good corporate governance, penyempurnaan pengaturan dan system pengawasan bank; dan (3) Pengembangan Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sejalan dengan upaya mendorong fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Tahun 2004 juga menandai dimulainya implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang.

4. Periode 2005-2006

Secara umum kebijakan perbankan pada 2005 diarahkan pada 4 langkah besar yaitu upaya melanjutkan proses konsolidasi, memperkuat infrastruktur perbankan, meningkatkan tingkat kehatihatian perbankan dan mendorong fungsi intermediasi.

Tantangan untuk meningkatkan peran dan stabilitas sektor keuangan, khususnya perbankan, dalam perekonomian semakin besar. Dalam rangka membangun industri perbankan yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat ke depan dan menghadapi era globalisasi, upaya untuk semakin memperkuat struktur perbankan nasional menjadi bagian yang sangat penting. Dalam kaitan itu, Bank Indonesia tetap konsisten melanjutkan langkah-langkah untuk mendorong proses konsolidasi perbankan pada 2006 yang tercantum dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sementara itu, maraknya inovasi produk keuangan dan hubungan yang semakin erat antara perbankan dan lembaga keuangan bukan bank akan berpotensi meningkatkan tekanan stabilitas pada sistem keuangan. Mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia tetap melanjutkan langkah-langkah yang diperlukan melalui beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI) guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan.

5. Periode 2007-2008

Kinerja perbankan pada tahun 2007 meningkat secara signifikan sejalan dengan kondisi perekonomian yang semakin kondusif. Peningkatan kinerja tersebut terutama tercermin pada penyaluran kredit yang melampaui target, kualitas kredit yang semakin baik, dan rasio kecukupan modal yang jauh di atas ketentuan minimum. Peningkatan penyaluran kredit didorong oleh kebijakan penurunan BI Rate dan penyesuaian berbagai ketentuan, terutama pada ketentuan penilaian aktiva produktif bank pada Maret 2007.

Pada tahun 2008 Dampak kenaikan harga minyak dunia mulai mengimbas sektor perbankan. Setelah beberapa tahun terakhir perbankan terus menunjukkan kinerja keuangan yang baik dengan laba yang terus meningkat. Pada kuartal pertama tahun 2008 ini laba perbankan mulai menyurut. Dalam tiga tahun terakhir laba perbankan mengalami pertumbuhan yang pesat yaitu dari Rp 33,9 trilyun tahun 2005 menjadi Rp 40,6 trilyun tahun 2006 dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 49,9 trilyun, atau rata-rata meningkat sebesar 21% per tahun.

Di tahun 2008 menjadi titik awal terkuaknya kasus Bank Century yang menjadi perbincangan hangat dikalangan publik dan penyidik. Dampak nyata dari pemberian bailout ini adalah kerugian Negara sebesar 4 triliun rupiah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Padahal dana yang berasal dari para pembayar pajak ini seharusnya dialokasikan bagi kepentingan umum dan bukannya menjadi dana gelap yang mengalir tanpa keterangan. Dana sebesar 4 triliun ini setidaknya bisa dipakai untuk membantu penyelesaian tol trans-jawa atau membangun infrastruktur pertanian maupun pertahanan.
Dampak lain dari pemberian bailout ini adalah dampak psikologis. Dampak psikologis ini ibarat pisau bermata dua karena selain memberi efek positif, tetapi juga memberi efek negatif. Efek positif dari pemberian dana ini adalah menguatkan kepercayaan investor, khususnya di saat pemberian bailout yang bertepatan dengan masa krisis global. Hal ini dapat memberi rasa aman untuk berinvestasi di Indonesia saat itu karena adanya jaminan dari pemerintah. Tetapi di sisi lain tidak adanya pertanggungjawaban dana sebesar 4 triliun telah membuat para investor mempertanyakan kapabilitas pemerintah dalam mengawasi penyaluran dana perbankan dan dalam skala lebih besar mengawasi perekonomian Indonesia.

6. Periode 2009-2010

Bank Indonesia (BI) menilai kondisi perbankan di Indonesia semakin baik, pasca krisis 1997/1998. Menurut BI, hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) yang cukup tinggi, yakni sebesar 17,4% per Desember 2009.

Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh BI terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Dengan perkembangan transaksi perbankan melalui berbagai sarana, selain memberikan kemudahan bagi bank juga membuka peluang praktik tipibank dengan modus penipuan menggunakan rekening bank sebagai media menerima hasil penipuan/kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, BI dan Working Group Mediasi Perbankan telah melakukan diskusi dan menyusun draft Bye Laws Pemblokiran Rekening Simpanan Nasabah. Menindaklanjuti hasil diskusi dimaksud, pada tanggal 30 Oktober 2009, Komite Bye Laws dan Pengaturan yang terdiri dari Asosiasiasosiasi perbankan (Perbanas, Himbara, Foreign Bank, ABKI, Asbanda dan Asbisindo) telah menetapkan Bye Laws Pemblokiran Rekening Simpanan Nasabah sebagai pedoman pelaksanaan pemblokiran rekening simpanan nasabah yang digunakan menampung hasil kejahatan, dan pengembalian dana nasabah dalam hal terjadi indikasi tindak pidana yang jenisnya diatur dalam Bye Laws.

Kebijakan perbankan 2010 diarahkan untuk semakin meningkatkan peranan industri perbankan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Untuk mendukung hal tersebut, BI memiliki 4 kebijakan utama perbankan berbasis insentif dan disinsentif sebagai berikut :

  1. Peningkatan ketahanan sistem perbankan
  2. Peningkatan intermediasi perbankan
  3. Peningkatan peran perbankan syariah
  4. Peningkatan peran BPR
Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.

Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.

Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:

  • Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
  • Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
  • Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.

    Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.

    Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.

    Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
  • Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1).

    Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
  • Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
  • Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
  • Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
  • IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
  • Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
  • Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
  • Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. (Ehrke: 2).

Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.

Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik


Daftar Pustaka
1. http://pratiwinia.wordpress.com/2012/03/01/perkembangan-perbankan-tahun-1990-2010-10/

2. http://www.chynsoncomputer.com/krisis-moneter/index.php

Senin, 10 Oktober 2011

Perilaku Konsumen

NAMA : HERRY ROCKY
NPM : 15209415
KELAS : 3EA15
MATA KULIAH : PERILAKU KONSUMEN / REVIEW JURNAL

nama penulis : Sudiyarto & Nuhfil Hanani
judul penelitian : Kajian faktor faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli buah

masalah : faktor apa saja yg mempengaruhi konsumsi buah pada masyarakat kita?

tujuan : menganalisis budaya, lingkungan, dan individu

teori :
PePerilaku konsumen
2. Konsumen
3. Segmentasi pasar
metode : menggunakan instrumen penelitian
kesimpulan : Perubahan ‘budaya’ maupun peningkatan ‘psikologis’ konsumen, dapat meningkatkan secara nyata sikap-kepercayaannya dalam membeli /mengkonsumsi buah lokal.

Perilaku Konsumen

NAMA : HERRY ROCKY

Rabu, 16 Maret 2011

HAK ASASI MANUSIA

NAMA : HERRY ROCKY

NPM : 15209415

A. SEJARAH HAM

Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.

Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.

www.membuatblog.web.id/2010/06/sejarah-hak-asasi-manusia-di-indonesia.html

B. Pasal Pasal dalam HAM

Pasal 27 ayat 1, Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 27 ayat 2, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

pasal 29 ayat 2, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

pasal 30 ayat 1, Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara

pasal 31 ayat 1, Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

C. Penerapan HAM di Indonesia

Menurut saya penerapan HAM di indoesia kurang baik, di karenakan berbagai banyak hal seperti kasus MUNIR. Sampai sekarang blom ada kejelasan tentang kasus tersebut. Dan pemerintah tampak ny enggan menyusut kasus ini lebih lanjut.

Minggu, 20 Februari 2011

revolusi mesir

Revolusi rakyat Mesir telah berhasil karena berbagai alasan. Di antaranya karena dimulai dari rasa sakit rakyat Mesir dan penderitaan sehingga tidak percaya terhadap rezim Mubarak. Menurut penelitian akademik adalah hasil kebijakan ekonomi terbuka yang menguntungkan kalangan tertentu dari para pengusaha dan perusahaan-perusahaan atas kemaslahan mayoritas.

Penderitaan sosioekonomi inilah yang menjadi bahan bakar kemarahan para pemuda yang telah membuktikan kepada dunia bahwa umat masih hidup, mampu mengadakan perubahan dan mengarahkan kapal perubahan di laut yang penuh dengan gelombang konspirasi internasional dan intervensi untuk mempengaruhi dan membentuk masa depan negara-negara Arab dan Islam dengan perencanaan eksternal seperti yang terjadi di Irak, yang hancur karena interfensi pihak luar, dan terjadilah apa yang terjadi di dalamnya karena banyak alasan.

Antara lain karena perubahan tidak terjadi dari dalam melalui revolusi rakyat, tetapi datang melalui tank-tank AS pada tahun 2003, setelah bertahun-tahun panjang Irak diembargo dan masa kediktatoran yang lama.

Revolusi meyakinkan bahwa rakyat Mesir lebih kuat dari diktator mana pun. Rakyat Mesir adalah rakyat yang mempunyai peradaban yang membentang sejak ribuan tahun yang dimulai dari masa Fir’aun, Qibthi (golongan Kristen ) bahkan pengaruh peradaban Yunani dan Romawi pun berasimilasi di Mesir sebelum terbentuknya budaya dan peradaban Arab dan Islam di Mesir.

Rakyat Mesir telah melawan perangkat keamanan negara mereka yang termasuk di antara perangkat keamanan terbesar di dunia karena terdiri dari 1.5 juta unsur. Revolusi Mesir ini merupakan hasil dari kepintaran dan kepemimpinan kolektif dari masyarakat Mesir. Dan hal ini lah yang berperan di dalam menjaga (mengawal) hasilnya daripada diculik setelah pencapaian tujuan pertamanya.

Kecerdasan kolektif ini dipelopori oleh generasi yang disebut dengan kalangan menengah dari para pelajar di berbagai macam disiplin ilmu di dalam pemerintahan dan sektor swasta, bahkan dari orang-orang yang belajar dan bekerja di luar negeri. Kalau begitu, apa yang dihasilkannya yaitu perubahan di dalam pemikiran kalangan menengah ini yang telah lulus dari universitas-universitas selama 3 dekade yang lalu. Terlebih dengan jumlah populasi rakyat Mesir yang terus naik dari 45 juta warga pada tahun 1980 menjadi 80 juta lebih pada tahun 2010.

Faktor lainnya, keberhasilan Revolusi Mesir ini disebabkan oleh persatuan antara kelompok dan kekuatan politik di mesir yang berfokus pekan lalu di bawah kepemimpinan dari apa yang dikenal sebagai “Koalisi Pemuda Revolusi,” karena semua kekuatan politik ini berusaha untuk mensukseskan revolusi ini sebagai “image revolusi kerakyatan,” karena apabila dibuat di bawah kepemimpinan politik yang terpisah-pisah, sudah barang tentu hal ini akan dimatikan oleh pemerintah sejak pertama kali muncul.

Tetapi tulang punggung revolusi ini adalah aktivis muda dari gerakan yang berbeda. Beberapa dari mereka tanpa ideologi dan ada juga yang berideologi, yang menggerakan sendi tubuh masyarakat Mesir, yang meletus dan menciptakan sebuah revolusi yang jarang terjadi dalam sejarah, yaitu ketika hampir sepuluh juta dan mungkin lebih dari sepuluh juta orang dalam satu hari atau 10% dari penduduk Mesir (turun ke jalan).

Factor lain yg mempengaruhi revolusi mesir adalah erosi yang memakan legitimasi Negara dan institusinya, legislative, eksekutif dan keamanan yang menghilangkan kepercayaan dalam hati jutaan rakyat Mesir terhadap institusi ini dan mendorong mereka untuk berdemonstrasi, oleh karena itu, ketika tentara turun ke jalan-jalan disambut oleh rakyat sebagai jaminan terakhir dari institusi Negara untuk keluar dari dilemma ini.

Link http://konspirasi.com/peristiwa/revolusi-mesir-peranan-koalisi-pemuda-revolusi/

Kamis, 17 Februari 2011

Tugas

1. Pengertian Bangsa Dan Negara


Bangsa adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan datang.

Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok manusia tersebut.

Teori Terbentuk nya Negara

Teori hukum alam. Pemikiran pada masa plato dan aristoteles kondisi alam tumbuhnya manusia berkembangnya negara
Teori ketuhanan (islam + Kristen) segala sesuatu adalah ciptaan tuhan.
Teori perjanjian. Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan. Manusia akan musnah bila ia tidak mengubah cara-caranya. Manusia pun bersatu utk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dlm gerak tunggal utk kebutuhan bersama.



Unsur - Unsur Negara

1. Penduduk
Penduduk adalah warga negara yang mempunyai tempat tinggal serta mempunyai kesepakatan diri untuk bersatu. Yang dimaksud dengan warga negara adalah penduduk asli Indonesia (pribumi) dan penduduk negara lain yang sedang berada di Indonesia untuk bisnis, wisata dan sebagainya.

2. Wilayah
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Dapat dikatakan menjadi unsur utama pembentuk negara apabila wilayah tersebut mempunyai batas atau teritorial yang jelas atas darat, laut dan udara.

3. Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu.